Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 13 Maret 2012

Denny Indrayana-Yusril, Beda Kelas


Headline
inilah.com

INILAH.COM, Jakarta - Polemik antara Prof Yusril Ihza Mahendra dan Prof Denny Indrayana terkait kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat yang diputuskan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sarat pertarungan akademik. Hanya saja belakangan ditarik pada urusan politik yang kental dengan nuansa pencitraan.

PTUN Jakarta, Rabu (7/3/2012) melalui putusan Nomor: 217/G/2011/PTUN-JKT menerima gugatan tujuh penggugat terkait Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: M.H.H-24.PK. 01.05.04 TAHUN 2011 Tertanggal 16 Nopember 2011 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No : PAS-149.PK.01.05.06 Tahun 2011 Tentang Pembebasan Bersyarat Yang Belum Dilaksanakan, tertanggal 16 November 2011.
Putusan PTUN Jakarta ini seolah menjadi pembuktian 'kelas' masing-masing pihak yang berperkara. Dalam hal ini, Yusril Ihza Mahendera sebagai kuasa hukum tujuh penggugat, serta Kementerian Hukum dan HAM yang identik dengan Denny Indrayana terkait kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat
Pertarungan dua profesor hukum beda universitas ini, merupakan kali kedua yang semuanya dimenangkan Yusril Ihza Mahendra. Pertarungan sebelumnya terkait dengan posisi Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Kala itu, Yusril menggugat Pasal 22 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan khususnya terkait masa jabatan Jaksa Agung di Mahkamah Konstitusi (MK). Di pihak pemerintah, Denny Indrayana diajukan sebagai saksi ahli dalam sengketa itu.
Kini, polemik kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat menjadi ajang 'duel' babak kedua antara dua gurubesar ini. Yusril yang mewakili tujuh terpidana kasus korupsi menang melawan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM.
Sebelumnya, polemik ini juga menjadi tema panas saat rapat kerja Komisi Hukum DPR dengan Kementerian Hukum dan HAM pada 6 Desember 2014 serta 14 Desember 2011 lalu. Mayoritas fraksi di Komisi Hukum menyoal asas legalitas kebijakan tersebut meskipun secara substansi, seluruh fraksi setuju dengan kebijakan tersebut.
Seperti diketahui, kebijakan pengetatan ini berasal dari surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan tertanggal 31 Oktober 2011 bernomor: PAS-HM.01.02-42 perihal moratorium pemberian hak narapidana tindak pidana korupsi dan terorisme.
Surat edaran yang ditujukan kepada Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM se-Indonesia ini juga sama saja berarti mengganti Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM tertanggal 12 Oktober 2011 atau di era Menteri Patrialis Akbar.
Dalam putusannya, majelis hakim PTUN Jakarta memberi pertimbangan di antaranya, tindak pidana korupsi, termasuk dalam katagori extra ordinary crime, yang harus diberantas dan diperangi bersama keberadaannya. Namun begitu, Majelis Hakim mengingatkan meskipun korupsi adalah musuh bersama, maka penegakan hukumnya harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku.
Di bagian lain, Majelis Hakim PTUN Jakarta juga menyebutkan terkait upaya pengetatan pemberian hak kepada narapidana korupsi, maka akan lebih tepat apabila sebelum diberlakukan kebijakan itu terlebih dahulu dirumuskan dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Setelah melalui langkah tersebut, barulah peraturan perundang-undangan tersebut dijadikan dasar hukum dalam hal tidak menerbitkan dan atau menerbitkan suatu Keputusan Pembebasan Bersyarat.
"Bukan untuk mencabut keputusan yang sudah diterbitkan sebelumnya oleh Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri, dimana hal tersebut telah diatur mengenai tata cara dan mekanisme pencabutannya oleh peraturan perundang-undangan," demikian Majelis Hakim PTUN Jakarta.
Kebijakan Menteri Hukum dan HAM ini dinilai melabrak peraturan perundang-undangan di atasnya. Yakni Pasal 14 huruf k UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Semua peraturan perundang-undangan itu poin pentingnya tentang hak remisi dan pembebasan bersyarat bagi nara pidana.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana merespons putusan PTUN Jakarta meradang. Menurut dia, upaya gugatan terhadap UU yang terkait pemberantasan korupsi sebagai upaya serangan balik koruptor.
"Pokoknya yang namanya corruptor fights back itu UU KPK diuji ke MK, dulu Keppres Satgas mafia pemberantasan hukum diuji ke MA, dulu tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi, diuji ke MA," ujar Denny usai akhir pekan lalu.
Sementara, Yusril Ihza Mahendra menilai terdapat kepanikan dari pemeirntah pasca-kekalahannya di PTUN terkait kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. "Serangan bertubi-tubi Denny Indrayana terhadap saya pascakekalahan di PTUN Jakarta, sesungguhnya menggambarkan kepanikan sebuah rezim yang sedang berkuasa," tuding Yusril.
Dalam pertarungan Yusril vs Denny terkait kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat ini sejatinya masuk perdebatan akademik yang mencerdaskan bagi publik. Meski, belakangan, Denny justru menggiring perdebatan ini pada ranah pencitraan, dirinya yang mengidentifikasi antikorupsi dan Yusril distigmakan sebagai pro-koruptor. Perdebatan yang pada akhirnya tak mencerdaskan.
Karena bukan itu pokok soalnya, namun asas yang dilabrak oleh Kementeruian Hukum HAM sebagaimana putusan PTUN Jakarta. Pesan penting dari putusan ini sejatinya dalam memberantas korupsi tak hanya bermodal dengan semangat semata namun pengetahuan yang cakap serta strategi yang cerdas. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar