Jakarta Listrik akan naik, juga Bahan Bakar Minyak (BBM). Itu setelah gaji pegawai negeri naik yang mengkatrol beberapa barang ikut menyesuaikan harga. Satu komponen saja naik rakyat sudah sekarat. Ini dua-duanya. Jika ingin rakyat semakin sengsara, jangan tunggu lama untuk menaikkan keduanya. Serempak!
Hampir pasti bulan-bulan ini kegoncangan bakal melanda negeri ini. Mungkin bukan hanya dalam bentuk unjuk rasa, tetapi juga pada olah-rasa. Ngudoroso. Mengeluh, stres, tertekan, yang bagi masyarakat bawah hanya bisa disiasati dengan cara menarik nafas panjang. Sebagai katarsis atas ketidakberdayaan. Itu karena ongkos hidup bakal menaik tajam.
Kenaikan harga BBM, juga Tarif Daftar Listrik (TDL) memang pemicunya. Sinyal kuat telah diutarakan pemerintah. Kenaikan BBM ancang-ancang di kisaran Rp 1.000 hingga Rp 2.000, sedang untuk listrik bertahap menuju sepuluh persen.
Bagi keluarga, kaya atau miskin, itu artinya biaya rumah-tangga harus ditambah. Yang kaya mungkin biasa-biasa saja. Yang semula cukup akan tekor dan harus cari tambahan. Sedang yang kurang, perlu kepintaran akrobatik untuk tutup lubang gali lubang.
Akrobat hidup itu sebenarnya sudah menjadi 'tradisi' rakyat kecil. Utang, nyelang, kadang ngemplang merupakan bagian dari dinamika hidup mereka. Rutin. Zaman boleh berganti, dari penjajahan, nasionalisme bangkit, reformasi dibolak-balik, sampai orde yang odenya buat asing, hidup rakyat jelata tetap linier. Miskin dan papa.
Kemiskinan itu sepertinya laten. Rekor miskin paling tinggi dipegang petani. Lahan sempit yang dimiliki dituding penyebab mereka miskin. Itu sebab, rencana yang terus-menerus direncanakan pemerintah, memberi lahan pada mereka, melalui reformasi agraria, yang lagi-lagi, entah kapan realisasinya.
Kemiskinan rakyat itu memang selalu hanya menjadi wacana. Program SBY pro growth, pro job, pro poor, dan pro green, hanya nyantol di awal dan akhir. Itu karena negeri ini menjadi pasar produk-produk asing, dan ditekan asing pula agar tetap 'menghijau' di tengah perusakan lingkungan di berbagai belahan dunia yang lain.
Salah satu contoh adalah Norwegia memberi hibah 1 miliar USD pada negeri ini. Mereka memilih itu ketimbang mengurangi operasional pabrik-pabriknya yang mencemari bumi. Ini hanya kurang dari sepuluh persen keuntungan sepekan. Dan di negeri ini lahirlah moratorium hutan, yang dipaksa-paksa agar berlaku seumur-umur.
Secara sarkastis negeri ini memang ditakdirkan agar terus miskin. Itu diamini para decision makers negeri ini melalui kebijakannya. Konservasi adalah euphemisme dari semangat itu. Membiarkan suku-suku terasing tetap terasing. Hutan, satwa harus dijaga hidup alami. Dan kita menjadi bagian darinya, dibonsai agar seperti itu selamanya.
Pernah, seorang teman perempuan yang digaji USD di yayasan asing mengepalai menjaga lestarinya suku terasing saya tanyai. Tegakah kamu, jika suku yang hidup di hutan itu saudara kandungmu, suamimu, atau anakmu, dan kamu menjaganya agar mereka tetap hidup dalam ketidak-tahuan?
Dia yang semula heroik bercerita itu tergagap. Matanya memerah. Air bening mengalir dari sudut matanya. Tahun berikutnya saya dengar kabar, dia keluar dari pekerjaannya. Dia lebih memilih profesi sebagai pengajar di sebuah sekolah tinggi kesenian, daripada tetap menjaga 'saudara-saudaranya' agar tetap kerasan hidup di dalam hutan, tidak mengenal listrik, BBM, dan pendidikan.
Tulisan ini bukan kampanye merusak alam. Ini luapan kejengkelan, betapa negeri ini terus miskin di tengah kekayaannya yang melimpah. Saya imum dengan slogan menjaga kelestarian alam dengan kemiskinan. Sebab kakek buyut kita yang sudah bersahabat dengan alam, merawat alam beratus-ratus tahun lewat, semasa hidup belum pernah mengecap kekayaan. Mereka miskin, dan mati dalam kemiskinan.
Ketika kabar kenaikan BBM susul-menyusul dengan kenaikan listrik, potret kelam itu yang kembali terbayang. Adakah pemerintah tidak bisa mencari jalan keluar lain agar tidak menggencet rakyat miskin. Dan mengapa pemerintah tidak mampu memanfaatkan kekayaan berlimpah negeri ini bagi kemakmuran rakyatnya?
Bapak Presiden yang terhormat, rakyat ingin hidup kaya, dan mati setelah menikmati nikmatnya hidup sebagai bangsa yang kaya.
*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar