Anas Urbaningrum (kiri) dan Edhie Baskoro Yudhoyono. TEMPO/Hariandi Hafid
TEMPO.CO, Jakarta -- Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Max Sopacua, menyatakan partainya resah dengan hasil survei dari Lingkaran Survey Indonesia. "Ya kami resah, kami prihatin," kata Max saat ditemui di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 7 Februari 2012.
Menurut hasil survei terakhir LSI, jika pemilihan umum berlangsung tahun ini, Demokrat hanya akan menempati posisi ketiga di bawah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Popularitas partai pemenang Pemilu 2009 itu merosot menjadi 13,7 persen. Padahal, dalam survei sebelumnya, tingkat keterpilihan Partai Demokrat masih pada kisaran 50 persen.
Menurut Max, Demokrat masih memiliki waktu untuk meningkatkan citra partai di mata publik. “Semua komponen partai akan bekerja,” kata Max. "Kami akan lebih berusaha."
Max menyangkal kabar yang kian santer bahwa perpecahan tengah melanda Demokrat. Menurut dia, kondisi internal partai masih normal. Ketua Umum Anas Urbaningrum masih melaksanakan tugasnya membangun partai ke seluruh daerah.
Munculnya suara kritis yang muncul di internal Demokrat, menurut Max, menunjukkan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap partai. Max juga mengimbau kader yang mengultimatum Anas menggunakan mekanisme resmi. “Itu penting agar tidak mendiskreditkan pihak lain di internal partai,” ujar Max.
Desakan agar Anas Urbaningrum mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat memang kian kencang, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka kasus suap proyek Wisma Atlet. Anggota Dewan Pembina Demokrat, Hayono Isman, menyatakan Dewan Pembina yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono mengultimatum Anas agar mengembalikan elektabilitas Partai menjadi 20 persen dalam tiga bulan ke depan.
"Kalau (elektabilitas partai) menyentuh angka 10 persen, tak perlu menunggu proses hukum (ditetapkan sebagai tersangka), kami akan mengambil sikap," kata Hayono di gedung DPR, Jakarta. "Angka 10 persen adalah angka psikologis yang tak bisa ditoleransi," dia menambahkan.
Masalah yang dihadapi Anas, kata Hayono, adalah dugaan politik uang dalam acara Kongres II Demokrat di Bandung pada Mei 2010. Kasus ini terkuak melalui Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang kini terdakwa kasus Wisma Atlet. "Proses yang kotor akan melahirkan pemimpin yang kotor," kata Hayono.
Menurut hasil survei terakhir LSI, jika pemilihan umum berlangsung tahun ini, Demokrat hanya akan menempati posisi ketiga di bawah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Popularitas partai pemenang Pemilu 2009 itu merosot menjadi 13,7 persen. Padahal, dalam survei sebelumnya, tingkat keterpilihan Partai Demokrat masih pada kisaran 50 persen.
Menurut Max, Demokrat masih memiliki waktu untuk meningkatkan citra partai di mata publik. “Semua komponen partai akan bekerja,” kata Max. "Kami akan lebih berusaha."
Max menyangkal kabar yang kian santer bahwa perpecahan tengah melanda Demokrat. Menurut dia, kondisi internal partai masih normal. Ketua Umum Anas Urbaningrum masih melaksanakan tugasnya membangun partai ke seluruh daerah.
Munculnya suara kritis yang muncul di internal Demokrat, menurut Max, menunjukkan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap partai. Max juga mengimbau kader yang mengultimatum Anas menggunakan mekanisme resmi. “Itu penting agar tidak mendiskreditkan pihak lain di internal partai,” ujar Max.
Desakan agar Anas Urbaningrum mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat memang kian kencang, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka kasus suap proyek Wisma Atlet. Anggota Dewan Pembina Demokrat, Hayono Isman, menyatakan Dewan Pembina yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono mengultimatum Anas agar mengembalikan elektabilitas Partai menjadi 20 persen dalam tiga bulan ke depan.
"Kalau (elektabilitas partai) menyentuh angka 10 persen, tak perlu menunggu proses hukum (ditetapkan sebagai tersangka), kami akan mengambil sikap," kata Hayono di gedung DPR, Jakarta. "Angka 10 persen adalah angka psikologis yang tak bisa ditoleransi," dia menambahkan.
Masalah yang dihadapi Anas, kata Hayono, adalah dugaan politik uang dalam acara Kongres II Demokrat di Bandung pada Mei 2010. Kasus ini terkuak melalui Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang kini terdakwa kasus Wisma Atlet. "Proses yang kotor akan melahirkan pemimpin yang kotor," kata Hayono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar