Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Jumat, 09 Maret 2012

Islam Rahmatal Lil’alamin untuk Indonesia yang Plural

 
Oleh : Samsuddin. 
Tuhan Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan bumi nusantara ini dihuni oleh berbagai suku dan agama. Keragaman itu sesungguhnya merupakan kekayaan sosial dan budaya yang dimiliki bangsa ini. Namun pada saat bersamaan keragaman itu dapat menjadi ancaman bagi kutuhan bangsa ini. Seperti itulah femomena yang terjadi akhir-akir ini. Selanjutnya dalam kolom ini penulis sengaja mengkhususkan pembicaraan pada persoalan kehidupan beragama di negara kita, karena dalam hemat penulis, kerusuhan yang berlatar belakang agama lebih sering terjadi dan berulang.
Melibatkan Umat Islam

Dalam konteks Indonesia melibatkan umat Islam dalam upaya mewujudkan toleransi kehidupan beragama merupakan hal yang urgen. Secara garis besar hal itu didasari oleh dua fakta, satu, bahwa pemeluk Islam merupakan pemeluk mayoritas di negara ini. Berhasil tidaknya perwujudan kerukunan hidup antarumat beragama sangat bergantung pada keterlibatan dan sikap koperatif umat Islam. Meski sesungguhnya sikap yang sama harus juga ditunjukkan pemeluk agama lain.

Dua, tanpa bermaksud menyudutkan umat Islam, dalam konteks kerusuhan yang bernuansa agama akan kita dapati fakta pemeluk Islam merupakan kelompok yang terlibat. Kerusuhan yang terjadi di Poso, Ambon, Temanggung, Ciketing, Bogor, merupakan fakta yang menguatkan asumsi ini.

Tiga, diterima atau tidak kenyataannya aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh mereka-mereka yang mengaku beragama Islam. Pengakuan itu diperkuat dengan simbol-simbol keIslaman yang mereka gunakan. Masih berdasarkan pengakuan mereka, bahwa perbuatan yang dilakukan itu merupakan aplikasi dari nilai-nilai jihad yanga ada dalam Islam.

Peranan Umat Islam

Keterlibatan pemeluk Islam dalam kerusuhan-kerusuhan yang berlatar belakang agama sungguh amat disayangkan. Apa yang mereka lakukan itu sudah barang tentu bukan merupakan dari ajaran Islam. Karena kehadiran Islam itu sejatinya membawa keselamatan sesuai namanya yang berasal dari kata salama yang artinya selamat.

Adapun perananan yang penulis tekankan dalam konteks tulisan ini adalah satu, meredam ekspresi keberagamaan yang eksklusif, sedangkan untuk kepentingan ini harus ada tafsir ulang pada dalil tertentu. Interpretasinya hanya dilakukan otoritas tertentu dan tak boleh dilakukan setiap orang, hasil interpretasinyapun harus diletakkan dalam konteks, demikian dikatakan Sekjend OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu di Jakarta (Kompas/21/2).

Kehendak yang ingin diwujudkan pada level ini adalah umat Islam mampu mengekspresikan keberagamaan yang inklusif, menyadari sepenuhnya ada pemeluk agama lain yang harus dihormati serta mengakui eksistensnya, bersebab; kemajemukan sebagai realitas historis, secara alamiah merupakan sesuatu yang "kehadiran"-nya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara-cara mereka mewujudkan diri (Ajid Tohir, 2009).

Ekspresi keberagamaan yang inklusif tidak harus dipahami menerima kebenaran semua agama, lalu semua kita menuju Tuhan yang satu meski agamanya berbeda-beda sebagaimana keyakinan mereka-mereka yang mengusung paham pluralisme liberal. Ekspresi keberagamaan inklusif yang penulis maksudkan itu hanya dimungkinkan pada dimensi sosial kemasyarakatan, bukan pada masalah teologi.

Dua, memperhatikan pendidikan generasi muda Islam. Sebagai orang tua kita harus memperhatikan tempat pendidikan formal anak-anak kita. Jangan sampai mereka ditempatkan pada institusi pendidikan yang menjadi tempat tumbuhkembangnya (process of becoming) paham radikalisme agama. Karena kenyataan yang telah terjadi menunjukkan keterlibatan orang- orang dalam kerusuhan bernuansa agama, yang setelah ditelusuri ternyata mereka merupakan produk institusi pendidikan yang selama ini dikenal memiliki reputasi baik (pesantren), dan pendapat ini tidak dimaksudkan menjeneralisasikan institusi pesantren.

Tiga, memperhatikan kegiatan anak di luar rumah. Bahwa paham radikalisme agama itu telah menyebar kemana-mana merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Kemajuan teknologi informasi, penerbitan buku, kegiatan pengajian telah dimanfaatkan sebagai media untuk penyebaran paham ini. Maka dari itu sebagai orang tua kita harus melindungi generasi kita dari paham tersebut dengan memperhatikan kegiatannya di luar rumah.

Empat, meningkatkan kesejahteraan umat Islam. Sejatinya paham radikalisme agama itu tidak tumbuh karena faktor tunggal. Kesenjangan ekonomi dengan segala efek sampingnya tidak dipungkiri dapat menyebabkan orang menerima paham radikalisme agama. Rasa frustasi dan pengalaman pahit dalam kemiskinan membuat seseorang pesimis menghadapi kehidupan. Pada kondisi psikologis seperti ini godaan untuk mengakhiri derita itu dapat diwujudkan dalam bentuk yang salah, penafsiran bias terhadap doktrin agama kemudian menjadi dalil pembenaran. Benarlah apa yang dikatakan nabi dalam sebuah hadits,"hampir-hampir saja kefaqiran itu dapat menyeret orang kepada kekufuran".

Lima, secara eksternal umat Islam harus melakukan dialog-dialog keagamaan. Dialog itu dilakukan tidak hanya ketika telah terjadi kerusuhan. Dialog itu juga harus dilakukan saat suasana damai sebagai upaya pencegahan. Dialog-dialog tersebut bertujuan merumuskan kesamaan nilai (common values), khususnya yang menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan dan moral, karena secara substansial untuk kedua hal tersebut setiap agama memiliki kesamaan nilai.

Selanjutnya ada beberapa alasan mengapa umat Islam harus berperan aktif mengembangkan sikap toleransi kepada pemeluk agama lain. Satu, alasan dogmatis. Salah satu ajaran kitab suci Al Qur’an adalah penjelasannya tentang realitas manusia yang tidak seragam. Sejatinya manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, yang dengan perbedaan itu bertujuan untuk saling mengenal (Al-Hujurat:13). Di surat lain (Al-Baqarah:256, Al-Kahfi:29, Al-Kafiruun:6) sangat jelas dan tegas bahwa tidak ada paksaan dalam agama, masing-masing manusia diberikan kebebasan untuk myakini kebenaran suatu agama.

Dua, alasan sejarah. Alasan sejarah yang penulis maskudkan adalah sejarah Islam. Dalam sejarahnya, setelah nabi Muhammad Saw berpindah dari Mekkah ke Madinah beliau diangkat sebagai pemimpin kota Madinah. Pada masa inilah muncul konsep piagam Madinah. Konsep dasar yang tertuang dalam Piagam Madinah yang lahir pada masa nabi Muhammad Saw ini adalah adanya pernyataan atau melindungi dan menjamin hak-hak sesama warga tanpa melihat latar belakang, suku dan agama (Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002).

Tiga, negara menjamin kebebasan beragama. Secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945. Dua pasal dalam konstitusi menyoal hal tersebut. Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Makalah Moh. Mahfud MD, disampaikan pada Konferensi Tokoh Agama (ICRP), Jakarta, 5/10/2009)

Penutup dan Saran

Umat Islam merupakan umat yang mayoritas di bumi Indonesia ini. Keunggulan jumlah tersebut dapat mewujud sebagai bencana atau anugerah bagi NKRI, tergantung bagaimana masyarakat Islam mengekspresikan keIslamannya. Bila masyaraktat muslim menampilkan ekspresi keIslaman yang sangar, ekskulisf, tidak menghargai perbedaan, kaku, menonjolkan penafsiran doktrin agama yang tekstual maka akan melahirkan komunitas agama yang menjadi ancaman pihak lain. Pada level ini Islam dihadirkan sebagai fithnathon lilalamien (fitanah bagi semesta alam).

Sebaliknya sekiranya pemeluk Islam menampilkan ekspresi keberagamaan yang ramah, inklusif, menyadari dan menghargai pluralitas agama, maka akan lahirlah suatu kominitas agama yang menjadi penyangga empat pilar kehidupan berbangsa, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. KeberIslaman yang seperti inilah yang merupakan keberIslaman yang rahmatal lil’alamin yang menjadi rahmat bagi alam Indoensia yang plural. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar