Pembahasan rancangan undang-undang pemilu terancam mengalami kebuntuan.
VIVAnews - Pembahasan rancangan Undang-undang Pemilu terancam mengalami kebuntuan. Akibatnya, sejumlah parpol bermanuver untuk mencapai kesepakatan kembali kepada UU Nomor 10 Tahun 2008.
Ketua DPP Partai Hanura, Akbar Faizal mengungkapkan, upaya untuk menggunakan UU Nomor 10 tahun 2008 pada pemilu 2014 karena pembahasan pasal-pasal krusial terancam mengalami kebuntuan atau deadlock. Selain itu, Hanura menginginkan agar UU Pemilu yang dihasilkan bisa menjawab persoalan dan tidak berubah-ubah setiap menjelang pemilu.
"Salah satu solusi adalah menggunakan undang-undang lama dengan beberapa pembenahan pada pemilu 2014," ujarnya di gedung DPR, Jakarta, Rabu 15 Februari 2012.
Sementara itu, menurut Sekretaris Fraksi PPP DPR, Muhammad Arwani Thomafi, UU Nomor 10 tahun 2008 bisa digunakan sebagai dasar pelaksanaan pemilu 2014 jika pembahasan RUU Pemilu di DPR tidak selesai. Meski begitu, Arwani menegaskan hingga saat ini DPR dan pemerintah tetap berupaya untuk menyelesaikan pembahasan RUU Pemilu.
"Usulan agar pansus dan pemerintah bekerja keras menorehkan tinta emas untuk sebuah kodifikasi Undang-Undang Pemilu yang lebih utuh memang harus segera ada yang memulai. Tentu menjadi kebanggaan jika DPR periode ini bisa menyelesaikan itu," kata Arwani.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu ini menambahkan, menjadi kelaziman yang tidak mendidik, jika setiap pemilu selalu saja undang-undang diubah. "Dipahami jika ada yang menduga perubahan itu lebih ramai terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan kemudahan memperoleh kursi yang didapat suatu parpol," kata Arwani.
Sedangkan, Wakil Ketua Fraksi PAN, Viva Yoga Mauladi, menjelaskan bahwa fraksinya berpandangan pembahasan revisi UU tetap harus dilanjutkan sesuai jadwal hingga akhir Maret. Karena sudah masuk Prolegnas dan DPR harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan revisi.
"Masih ada waktu untuk memperbanyak titik temu pandangan yang berbeda untuk soal PT, sistem pemilu, jumlah kursi per dapil, dan penetapan kursi di dapil," kata Viva.
Namun, menurut Viva, adanya kondisi yang cenderung stgnan dalam mempertemukan perbedaan pandangan adalah bukti bahwa motif memperbaiki atau menyempurnakan UU No 10 tahun 2008 tidak didasarkan pada tujuan untuk membangun demokrasi yang sehat dan menciptakan sistem kepartaian yg modern dan kuat. "Tetapi lebih pada upaya 'membunuh parpol' dengan proyek penyederhanaan parpol dalam kerangka menciptakan pemerintaan presidensiil yg efektif dan efisien," kata Viva.
Padahal, lanjut Viva, upaya menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien tidak ada kaitannya dengan jumlah parpol, namun ditentukan oleh 3 hal. Pertama, adakah perbedaan secara ekstrim ideologi politik partai, misal parpol agama versus parpol komunis.
Kedua, dari komposisi perolehan kursi DPR oleh parpol. Bila tidak ada pemenang mayoritas maka akan menciptakan instabilitas pemerintahan.
Ketiga, ditentukan oleh kepemimpinan di pemerintahan. Bila pemimpinnya tegas, berkarakter, tidak ragu-ragu, maka akan menciptakan pemerintahan yang stabil. (eh)
Ketua DPP Partai Hanura, Akbar Faizal mengungkapkan, upaya untuk menggunakan UU Nomor 10 tahun 2008 pada pemilu 2014 karena pembahasan pasal-pasal krusial terancam mengalami kebuntuan atau deadlock. Selain itu, Hanura menginginkan agar UU Pemilu yang dihasilkan bisa menjawab persoalan dan tidak berubah-ubah setiap menjelang pemilu.
"Salah satu solusi adalah menggunakan undang-undang lama dengan beberapa pembenahan pada pemilu 2014," ujarnya di gedung DPR, Jakarta, Rabu 15 Februari 2012.
Sementara itu, menurut Sekretaris Fraksi PPP DPR, Muhammad Arwani Thomafi, UU Nomor 10 tahun 2008 bisa digunakan sebagai dasar pelaksanaan pemilu 2014 jika pembahasan RUU Pemilu di DPR tidak selesai. Meski begitu, Arwani menegaskan hingga saat ini DPR dan pemerintah tetap berupaya untuk menyelesaikan pembahasan RUU Pemilu.
"Usulan agar pansus dan pemerintah bekerja keras menorehkan tinta emas untuk sebuah kodifikasi Undang-Undang Pemilu yang lebih utuh memang harus segera ada yang memulai. Tentu menjadi kebanggaan jika DPR periode ini bisa menyelesaikan itu," kata Arwani.
Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu ini menambahkan, menjadi kelaziman yang tidak mendidik, jika setiap pemilu selalu saja undang-undang diubah. "Dipahami jika ada yang menduga perubahan itu lebih ramai terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan kemudahan memperoleh kursi yang didapat suatu parpol," kata Arwani.
Sedangkan, Wakil Ketua Fraksi PAN, Viva Yoga Mauladi, menjelaskan bahwa fraksinya berpandangan pembahasan revisi UU tetap harus dilanjutkan sesuai jadwal hingga akhir Maret. Karena sudah masuk Prolegnas dan DPR harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan revisi.
"Masih ada waktu untuk memperbanyak titik temu pandangan yang berbeda untuk soal PT, sistem pemilu, jumlah kursi per dapil, dan penetapan kursi di dapil," kata Viva.
Namun, menurut Viva, adanya kondisi yang cenderung stgnan dalam mempertemukan perbedaan pandangan adalah bukti bahwa motif memperbaiki atau menyempurnakan UU No 10 tahun 2008 tidak didasarkan pada tujuan untuk membangun demokrasi yang sehat dan menciptakan sistem kepartaian yg modern dan kuat. "Tetapi lebih pada upaya 'membunuh parpol' dengan proyek penyederhanaan parpol dalam kerangka menciptakan pemerintaan presidensiil yg efektif dan efisien," kata Viva.
Padahal, lanjut Viva, upaya menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien tidak ada kaitannya dengan jumlah parpol, namun ditentukan oleh 3 hal. Pertama, adakah perbedaan secara ekstrim ideologi politik partai, misal parpol agama versus parpol komunis.
Kedua, dari komposisi perolehan kursi DPR oleh parpol. Bila tidak ada pemenang mayoritas maka akan menciptakan instabilitas pemerintahan.
Ketiga, ditentukan oleh kepemimpinan di pemerintahan. Bila pemimpinnya tegas, berkarakter, tidak ragu-ragu, maka akan menciptakan pemerintahan yang stabil. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar