Sejumlah pengunjuk rasa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Kemerdekaan Nasional (Graknas), melakukan aksi teatrikal saat berunjukrasa di kantor DPRD Sulawesi selatan, Selasa (6/3). TEMPO/Hariandi Hafid
TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan ribu buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), berencana menggelar unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Istana Negara pada 20 Maret 2012 mendatang.
Aksi itu untuk menyatakan penolakan atas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. “Kebijakan itu tidak pro buruh dan tidak pro pada pertumbuhan industri,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, usai konferensi pers penolakan kenaikan harga BBM di Wisma Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu, 7 Maret 2012.
Menurut Said, usulan kenaikan Rp 1.500/liter Premium yang akan berlaku 1 April 2012 mendatang bisa membuat pendapatan buruh dan guru rendahan berkurang. Padahal, pendapatan guru baru saja naik 20-30 persen tahun lalu. “Dengan kenaikan harga BBM, komponen pengeluaran sewa rumah dan transportasi ikut naik. Itu berarti pendapatan mereka otomatis berkurang, daya beli mereka menurun,” katanya.
Buat buruh, kebijakan kenaikan BBM ini juga berbahaya. Pasalnya, kenaikan itu –plus kenaikan tarif dasar listrik-- akan mempengaruhi biaya produksi pabrik dan perusahaan, terutama yang bergerak di sektor pengolahan baja, elektronik dan pertambangan. “Kenaikan biaya produksi diperkirakan sampai 10 persen, dan ini bisa membuat banyak buruh di-PHK,” kata Said.
Konfederasi, menurut Said, menilai pemerintah tidak mempersiapkan antisipasi dampak sosial dari kebijakan kenaikan BBM. “Pemberian bantuan langsung tunai hanya akan berdampak pada kaum miskin, padahal ada puluhan juta buruh dan guru yang masuk kategori kelas bawah (near poor) yang juga terdampak,” katanya.
Kebijakan BLT, menurutnya, hanya bentuk suap atau sogokan untuk orang miskin. “Bagaimana dengan para buruh yang terancam miskin akibat kenaikan harga ini?” katanya.
Aksi unjuk rasa buruh, kata Said, akan menekan pemerintah untuk memberlakukan jaminan kesehatan, asuransi pensiun dan jaminan sosial, sebagai antisipasi jika kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik benar-benar diberlakukan.
Aksi itu untuk menyatakan penolakan atas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. “Kebijakan itu tidak pro buruh dan tidak pro pada pertumbuhan industri,” kata Presiden KSPI Said Iqbal, usai konferensi pers penolakan kenaikan harga BBM di Wisma Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu, 7 Maret 2012.
Menurut Said, usulan kenaikan Rp 1.500/liter Premium yang akan berlaku 1 April 2012 mendatang bisa membuat pendapatan buruh dan guru rendahan berkurang. Padahal, pendapatan guru baru saja naik 20-30 persen tahun lalu. “Dengan kenaikan harga BBM, komponen pengeluaran sewa rumah dan transportasi ikut naik. Itu berarti pendapatan mereka otomatis berkurang, daya beli mereka menurun,” katanya.
Buat buruh, kebijakan kenaikan BBM ini juga berbahaya. Pasalnya, kenaikan itu –plus kenaikan tarif dasar listrik-- akan mempengaruhi biaya produksi pabrik dan perusahaan, terutama yang bergerak di sektor pengolahan baja, elektronik dan pertambangan. “Kenaikan biaya produksi diperkirakan sampai 10 persen, dan ini bisa membuat banyak buruh di-PHK,” kata Said.
Konfederasi, menurut Said, menilai pemerintah tidak mempersiapkan antisipasi dampak sosial dari kebijakan kenaikan BBM. “Pemberian bantuan langsung tunai hanya akan berdampak pada kaum miskin, padahal ada puluhan juta buruh dan guru yang masuk kategori kelas bawah (near poor) yang juga terdampak,” katanya.
Kebijakan BLT, menurutnya, hanya bentuk suap atau sogokan untuk orang miskin. “Bagaimana dengan para buruh yang terancam miskin akibat kenaikan harga ini?” katanya.
Aksi unjuk rasa buruh, kata Said, akan menekan pemerintah untuk memberlakukan jaminan kesehatan, asuransi pensiun dan jaminan sosial, sebagai antisipasi jika kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik benar-benar diberlakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar